Fiqh dan Ushul Fiqh adalah dua ilmu yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya muncul bersamaan. Namun, Ilmu Fiqh lebih dahulu dikodifikasikan. Jika Ushul Fiqh lebih menitikberatkan pada landasan teoritis yang bersifat umum, maka Fiqh lebih fokus pada tataran praktis. Keduanya juga mempunya kesamaan, yaitu mencari ketentuan hukum syar’i. Para ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i peletak disiplin ilmu ini. Mustafa Abdul Raziq (2006: 239) menjuluki Imam Syafi’i sebagai filosof pertama dalam dunia Islam.
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i lahir di Asqalan, sebuah desa kecil di Gaza pada 150 H, bertepatan dengan tahun meninggalnya Abu Hanifah. Konon, nasab Imam Syafi’i bertemu Rasulullah Saw. Terlahir dalam keadaan yatim, ibunya tidak mampu membayar guru mengajinya. Akan tetapi, Syafi’i tetap diperkenankan untuk mengikuti pelajaran dari gurunya. Saking miskinnya, dia rela menuliskan hafalanya pada tulang dan pelepah kurma. Kecerdasannya tampak pada usia 7 tahun ketika dia hafal al-Qur’an. Gurunya ketika itu adalah Syaikh Ismail bin Qostantin. Memasuki usia 15 tahun, Syafi’i sudah diperkenankan untuk memberikan fatwa oleh Muslim bin Khalid Zanji. Dia juga banyak belajar dari para ulama di Makkah dalam berbagai disiplin ilmu.
Perjalanan Syafi’i menuntut ilmu di Madinah disambut baik oleh Imam Malik. Semula, Imam Malik menolak karena usianya yang terlalu dini. Akan tetapi, setelah melihat Syafi’i mampu menguasai al-Muwata’ dengan sangat baik, sang Imam pun menerimanya. Selama 16 tahun, Syafi’i mengiringi Imam Malik sampai wafatnya. Ilmu yang diambil dari Imam Malik merupakan modal awal bagi Syafi’i dalam ber-istinbat terhadap nash. Setelah mengenyam pendidikan di Madinah, Imam Syafi’i belajar ilmu di Iraq kepada Muhamad bin Husain al-Saibani yang juga murid Abu Hanifah.
Manhaj istimbat Imam Malik di Madinah yang mengandalkan hadits ketimbang akal dan pemikiran Muhamad bin Husain al-Syaibani yang rasionalis adalah tempat strategis Imam Syafi’i dalam menggabungkan dua metode sekaligus. Inilah salah satu keistimewaan Syafi’i di antara empat imam madzhab. Munculnya kitab al-Risalah bermula ketika Abdurahman bin Mahdi meminta Imam Syafi’i untuk menuliskan kitab yang berisi tentang nasikh mansukh, penerimaan khabar ahad, dan yang berkaitan dengan ilmu al-Qur’an. Imam Syafi’i sendiri tidak pernah menamakan kitab tersebut al-Risalah. Beliau lebih sering mengatakan “kitab”, “kitabku”, dan “kitab kami.” Kitab al–Risalah ditulis Imam Syafi’i selama dua kali, yang pertama kali disusun di Makkah (Risalah Qadimah) atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi, salah satu imam ahli hadits di Hijaz, dan Risalah Jadidah yang diperbarui di Mesir. Kitab al-Risalah Jadidah adalah manuskrip terakhir yang sampai ke tangan kita, lataran kitab beliau yang lama telah lenyap dan kemungkinan besar beliau sisipkan materi pembahasanya pada Risalah Jadidah.
Ushul Fiqh Pasca Imam Syafi’i
Setelah Imam Syafi’i meletakkan dasar ilmu Ushul Fiqh, para ulama yang datang kemudian berusaha menyarah kitab Risalah. Tercatat, Ibnu Sirij, Abu Bakar Muhamad bin Abdullah Soirofi, Abi Walid Hasan bin Muhamad Naisaburi, Ibnu Qaththan, Imam bin Muhamad Ali Qaffal. Setelah itu, muncul dua nama besar yang menurut para ulama sangat mempengaruhi kitab-kitab Ushul Fiqh dalam segi kepenulisan, yaitu Qadhi Baqilani al-Asy’ari dan Qadhi Abdul Jabbar Mu’tazili. Al-Baqilani mempunyai peranan yang sangat besar dalam membangun metodologi Mutakallimin, salah satu contohnya adalah menentang Mu’tazilah dalam memasukkan doktrin ilmu kalam, juga perananya menyelisihi dua metode Syafi’i dan Hanafi yang mengkooptasi ilmu kalam sebagai trandmark-nya.
Abad ke-5 Ushul Fiqh sempat mulai marak semenjak Imam Haramain al-Juwaini banyak mengambil faedah dari kitab al-Baqilani yang berjudul at-Taqrib wal Irsyâd. Al-Juwaini sendiri memiliki tiga karya: Al-Waraqât (disyarah Jalal al-Mahali, Talkhis, dan al-Burhân (disyarah oleh al-Mazridalam kitab Fi Kasyfi Idhohil Mahsul min Burhânil Ushûl).
Qadhi Abdul Jabar mempunyai kitab al-Amd yang disyarah oleh muridnya sendiri, Abul Husain al-Basri dan melahirkan karya al-Mu’tamad. Kitab Mu’tamad juga direspon baik oleh Qadhi Abu Ya’la dalam kitabnya, al-’Udah min al-Mu’tamad. Abu al-Hitab dan Abu al-Wafa’ bin Aqil adalah murid dari Abi Ya’la yang masing masing mengarang kitab al-Tamhid dan al-Wadhi fî Ushûl al-Fiqh. Di antara murid Ibnu Aqil yang cukup produktif adalah Ibnu al-Barhan, pengarang kitab al-Wushul ilal Ushul yang juga menginspirasi Syaikul Islam Ibnu Taimiyah untuk mengarang kitab al-Musawadah.
Setelah era Imam Juwaini, muncullah nama seperti Imam Ghazali yang sedikit banyak terpengaruh Qadhi Baqilani, Qadhi Abdul Jabar, Abul Husain al-Basri, dan Imam Juwaini dalam karyanya al-Mustasyfâ. Ibnu Khaldun memuji al-Mustasyfâ sebagai kitab terbaik yang pernah ditulis dalam Ushul Fiqh di samping al-Burhân karya Imam Juwaini. Kitab Mustasyfa sendiri diringkas oleh Abu Walid bin Rusyd (595), cucu dari Ibnu Rusyd, dalam kitabnya, Dharuratu fi Ilmi Ushûl dan Ibnu Rashiq (632) dalam Lubâbul Mahsûl fil Ilmi Ushûl. Di samping kedua ulama ini, Ibnu Qudamah mentashihnya dalam Raudhatunnâdhir dan disyarah oleh Soffiyuddin al-Hanbalidalam Qawâ’idul Ushûl wa Maâqidul Fushûl. Syamsuddin Ba’lidan muridnya, Tufi, lebih istimewa lagi karena mampu merangkumnya selama 10 hari dalam matan Ghayatul Itqân. Matan Gayatul Itqân menjadi bahan rujukan Ala’udin Kanani Asqalani dalam Sawadunnâdhir wa Siqâqu Raudatunnâdhir. Tidak ketinggalan Ibnu Badran dan Amin Syanqiti menyarah karangan Tufi dalam Nujhatu Khatir.
Kitab al-Mustasyfâ karya Ghazali mendapat perhatian besar generasi sesudahnya, seperti Khatib Bagdhadi dalam karyanya, Faqih wal Mutafaqih, meskipun isinya juga banyak mengandung pembahasan hadits, namun kaidah Ushuliyah juga tidak jarang kita jumpai pada kitab ini. Sandaran Bagdadi dalam Faqih wal Mutafaqih adalah al-Risalah karya Syafi’i dan Tabshîrah karya Syairozi yang menjadi cikal bakal munculnya Allumâ’. Selain Khatib Bagdadi, generasi ini juga memunculkan nama seperti Sam’ani dalam kitabnya, Qawâtiul Adilah sebagai tandingan terhadap kitab Taqwimul Adilah milik Abu Zaid Dabusi. Attankihât milik Syahrawardi juga muncul pada generasi ini.
Imam Fakhrurazi dan Saifuddin al-Amidi adalah dua nama besar setelah Ghazali, masing-masing mempunyai karya al-Mahsûl yang karakteristiknya adalah istidlal dan mu’aradah dan hampir mempunyai manhaj yang berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya. Al-Mahsûl membidani kitab milik Tajuddin Armawi, al-Hâsil minal Mahsûl dan at-Tahsil minal Mahsûl karangan Sirajuddin Armawi. Di antara murid Armawi yang mengambil metode gurunya adalah Abdullah Muhamad bin Abad al-Asfahani, Najmuddin Qaswani, dan Tibrizi. Imam Qarafi al-Maliki juga mempunyai karangan Nafâisul Ushûl, Tankihkul Fushûl fi Ihtisaril Mahsûl. Saifudin al-Amidi mempunyai karya terkenal dalam Ushul Fiqh, di antaranya al-Ihkam fi Usulil Ahkam sebagai telaah dari kitab Mustasyfâ, Mu’tamad, dan Mahsûl.
Setelah Amidi dan Fakhrurazi munculah Ibnu Hajib dengan kitabnya Muntahasûl wal Amal fi Ilmi Ushûl wa Jadal. Imam Baidhawi yang menyarah al-Hasil dan Mukshtasar kemudian melahirkan kitab Minhajul Ushul yang menjadi diktat di berbagai universitas Islam di dunia. Sedangkan yang menyarah kitab Minhaj milik Baidhawi adalah murid Fakhruddin Jaribridi dalam Siraj al-Wadaj. Imam al-Asnawi dalam Zawâidul Ushûl ‘ala Minhajil Ushûl yang menjadi diktat di fakultas syariah Islam al-Azhar. Tajuddin Subhi menyarah kitab milik Ibnu Hajib yang terbagi dalam dua kitab, Raf’ul Hajib anibni Hajib dan Ibhaj fi Syarhil Minhâj.
Setelah al-Subhi datang Imam Badrudin Zakarsyi dengan bukunya yang sangat kemprehensif terhadap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Ushul Fiqh, muridnyalah sendiri yang melanjutkan estafetnya, yaitu Barmawai dalam kitabnya, Nabdhah Alfiyah Ushûlil Fiqh dan kitabnya yang berjudul Tahrir. Imam Syaukani dari San’a, Yaman, melahirkan karya Irsyâdul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmi Ushûl (disyarah oleh Sadiq Hasan Khan yang notabene adalah teman sendiri dalam kitab Ikhtisharil Irsyâdul Fukhul fi Khusûlil Ma’mul.
Demikian sedikit sketsa sejarah munculya ilmu Ushul Fiqh dan kitab-kitab primer aliran Mutakallimin. Karakteristik penulisan metode ini lebih mengedepankan analisa ataupun rumusan-rumusan teoritis tanpa melihat perbedaan maupun persamaan terhadap masalah furu’iyah dan berusaha menghindarkan kefanatikan terhadap madzhab. Juga menjadi catatan bahwa thariqah Mutakallimin mempunyai metodologi kajian induktif terhadap nash. Di antara penganut metode ini Syafi’iyah, Mu’tazilah, dan Malikiyah.
Metode Hanafiyah atau dikenal sebagai metode fuqaha memunculkan nama Isa bin Abandalam karyanya, Istbatul Qiyas, Khabarul Wakhid, Ijtihad ar-Ra’yu, Ishaq Syasi dalam kitab Ushûl Asyâsi, Abu Manshur al-Maturidi dalam kitabnya, Min Akhdi Syara’i fil Ushûl, Abdullah Karakhi dalam kitab Risalah fi Ushûl. Adapun kitab yang paling masyhur di antaranya adalah: Ushul Karakhi karya Abidillah bin khusain al-Kharahi(340), Ushûl al-Jasas karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Rozi. Muncul juga kitab Ushûl Bazdawi dan Kanzul Wushul ila Ma’rifatil Ushul karangan Bazdaw. Abi Zaid Abdullah bin umar al-Dabusi mempunyai karangan fenomenal yaitu Taqwîmul Adillah yang sempat mendapat pujian oleh Ibnu Khaldun sebagai kiab terbaik dalam Ushul Fiqh selain mustasyfâ karangan Ghazali.
Pada abad ketujuh banyak sekali dijumpai sistem penulisan menggunakan metodologi akomodatif. Dinamakan akomodatif lataran sistem kepenulisan kitab-kitab ini membahas kaidah-kaidah ushuliyah yang ditopang dengan argumentasi logis, kemudian melakukan studi analisis komparatif. Di antara kitab yang ditulis oleh para ulama ini seperti: Badi’unnidham al-Jami’ baina Ushulûl Bazdawi wal Ahkâm karangan Mudfiruddin bin Ali Aaati, Tankhihul Ushûl karangan Abdullah bin Mas’ud al-Hanafi, Jam’ul Jawami’ karangan Tajuddin bin Subkhi, dan Taqrir wa Tahbir karangan Muhamad Amirul Haj Halbi. Datang generasi setelahnya Muhibudin bin Abdussukur dalam kitab Muslim al-Subut, dan ‘Allamah Abdul Ali bin Nidhamuddin dalam kitabnya Fawatihurrahmah bi Syarhil Muslim ats-Tsubût.
Wacana rekonstruksi Ushul Fiqh adalah tema yang menarik untuk dikaji. Selain usianya sudah 13 abad, terhitung sejak Imam Syafi’i menulis kitab ar-Risalah, Ushul Fiqh sebenarnya banyak telah mengalami perubahan mendasar, seperti metodologi penulisan maupun pembahasan materinya. Urgensi memperbarui ilmu ini memiliki implikasi terhadap konstelasi hukum Islam dan karena Ushul Fiqh adalah ilmu ciptaan manusia yang tidak sakral.
Kredo pembaruan Ushul Fiqh yang diyakini para intelektual Muslim termanifestasikan dalam hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang artinya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap 100 tahun untuk umat ini orang yang akan memperbarui (pemahaman) agamanya.” Para ulama setidaknya mengatakan bahwa mujaddid era pertama dalam Islam adalah Umar bin Khattab, kemudian datang seratus tahun kedua Imam Syafi’i yang diklaim para ulama menduduki posisi tersebut. Pada abad 20 datang mujaddid kenamaan dari Nejd bernama Muhamad bin Abdul Wahab yang terkenal dengan purifikasi dalam bidang tauhid. Perlu diketahui bahwa mujadid yang didatangkan Allah SWT pada seratus tahun sekali tidak hanya terwakili oleh personal saja, melainkan juga bisa berbentuk dalam sebuah lembaga atau organisasi.
Dr. Yusuf Qaradawi mengatakan bahwa ilmu yang muncul dari rahim umat ini sangat memungkinkan untuk direkonstruksi. Kalau ilmu seperti Fiqh, Tasawuf, dan Tafsir bisa diperbarui, kenapa ilmu Ushul Fiqh tidak?
Hal senada juga dikuatkan oleh Dr. Ali Jum’ah Muhamad dalam bukunya, Aliyât al-Ijtihâd, dia mengatakan bahwa alangkah ironisnya bagi orang yang menguasai Ushul Fiqh dan Fiqh secara bersamaan, akan tetapi dia hanya mengetahui teori dan sistem pengajaran dan tidak lebih dari itu. Dia juga mengatakan bahwa Ushul Fiqh harus menjadi problem solver–nya umat ini dalam memecahkan persoalan kontemporer. Ulama yang pernah mengkritisi Ushul Fiqh supaya terjadi adanya tinjauan ulang adalah Imam Asnawi.
Geliat ide pembaruan memang marak dilakukan oleh para akademisi dalam bidang ini, salah satunya pembaru Mesir, Refa’at Tahtawi. Meskipun secara umum disematkan pada pembaruan yang bersifat untuk semua cabang ilmu, namun bukunya yang berjudul al-Qaulu Sadid fi Tajdid wa Taqlid cukup mencengangkan banyak kalangan. Belum ditambah tuntutan rekonstruksi di kalangan para dosen Universitas Kairo pada awal abad ke-20. Tema yang diusung dalam wacana rekonstruksi memang baru berkisar seputar penulisan ulang sistematika Ushul Fiqh, karena hal ini akan mempermudah siswa dalam pembelajaran Ushul Fiqh.
Lain halnya dengan apa yang dilontarkan Hasan Turabi. Menurutnya, Ushul Fiqh saat ini sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Menurut Hasan Turabi, Ushul Fiqh klasik merupakan jawaban terhadap problematika umat yang berkembang pada saat itu. Tokoh yang satu ini termasuk yang sangat gencar dalam menyuarakan tajdid Ushul Fiqh. Baginya, Ushul Fiqh harus lebih akomodatif terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer. Mandeg–nya ruh ijtihad Islam semakin mengernyitkan dahi para orientalis yang berujung pada kesimpulan asumtif bahwa ilmu ini tumbuh dan berkembang sebagai jawaban atas problematika umat terdahulu. Untuk mereonstruksi ilmu Ushul Fiqh demi tercapainya pembaruan Islam haruslah ada suplement ilmu-ilmu sosial Barat yang sejatinya akan merekonstruksi epistemologi Islam dalam Ushul Fiqh.
Wacana tersebut kemudian dibantah oleh Muhamad Said Ramadhan Buthi yang mengatakan Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu Islam tidaklah muncul sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang ada pada saat itu, seperti persoalan ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Ilmu Ushul Fiqh lahir secara aksiomatik, dan merupakan hasil pemahaman para ulama terhadap nash-nash. Munculah pertanyaan, kalau permasalahan kontemporer tersebut terus berkembang, apakah Ushul Fiqh juga harus menyesuaikan? Ilmu ini, menurut Muhamad Said Ramadhan Buth, sangat sulit untuk direkonstruksi, terutama jika ditinjau dari segi isinya karena landasanya sendiri adalah al-Qur’an dan Sunnah. Merekonstruksi ilmu ini sama saja dengan melakukan tahsilul hasil.
Di antara penyebab maraknya gagasan rekonstruksi Ushul Fiqh, menurut Syeikh Abdul Fadhil Abdu Salam, adalah bahwa ilmu ini terlihat tidak produktif jika dihadapkan dengan persoalan baru karena beberapa faktor: pertama, terputusnya rangkaian kitab mutaakhirin dengan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama salaf, sehingga menyebabkan tersebarnya kitab-kitab mereka (mutaakhirin) dan harus memulai pembahasan dari awal. Kedua, menyebarnya taklid buta dan fanatisme dalam permasalahan Ushul Fiqh itu sendiri. Ketiga, tidak adanya perhatian yang nyata terhadap ilmu ini dikarenakan perkataan ”tertutupnya pintu ijtihad ” dan hal itu menyebabkan kemandulan intelektual dan perasaan yang cepat puas para pengkaji ilmu Ushul Fiqh. Keempat, terbebasnya pembahasan Usul Fiqh dengan Fiqh, dan masing-masing ushuliyyun berbeda pandangan terhadap para Fuqaha, sehingga tersebarlah pameo “tidak setiap ushuli itu faqih” dan “tidak setiap faqih itu ushuli”, seperti yang terjadi pada Mutakallimin. Kelima, ilmu Ushul Fiqh pada kenyataanya lebih menguasai hal-hal yang bersifat teoritis daripada tataran praktis seperti dalam Fiqh. Hal itu sesungguhnya mengakibatkan ilmu ini mandul dan tidak menghasilkan produk Fiqh, sehingga menjadi beban bagi para pelajar untuk mendalami ilmu ini. Keenam, terjadi banyak sekali pengulangan materi dalam Ushul Fiqh sehingga sering kita jumpai pembahasan yang sama dalam mengambil contoh. Ketujuh, kenyataanya ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu tersulit di antara ilmu-ilmu Islam lainnya, hal ini diakui sendiri oleh para pakar dan pengajar Ushul Fiqh. Kedelapan, Ushul Fiqh terlalu bertele-tele dalam membahas permasalahan kalamiyah, juga pembahasan seperti bahasa yang tidak ada keterkaitanya dengan ilmu ini, sehingga semakin menyulitkan orang yang belajar Ushul Fiqh. Kesembilan, lemahnya perhatian terhadap qaidah ushuliyah sehingga sering terjadinya kesalahan dalam menerapkan qaidah ushuliyah dengan qaidah fiqhiyah.
Beberapa contoh di atas adalah sekelumit permasalahan yang juga sering dikeluhkan oleh beberapa ulama kontemporer terhadap Ushul Fiqh klasik. Namun, sebagian dari mereka ada yang pesimis bahwa Ushul Fiqh dapat direkonstruksi ulang, mengingat kajian Ushul Fiqh klasik justru lebih mendetail dan rinci dalam aspek matan.
Solusi Alternatif Tajdid
Ada beberapa tawaran alternatif untuk mengkaji ulang Ushul Fiqh, di antaranya apa yang ditulis oleh Abdussalam Balaji dan Dr. Ali Jum’ah Muhamad. Pertama, menyusun ulang sistem kepenulisan Ushul Fiqh dengan metode yang lebih simple dan mudah dipahami oleh khalayak umum mengingat ilmu ini salah satu ilmu terbesar yang pernah dilahirkan oleh umat Islam. Cara ini juga pernah dilakukan oleh Dr.Mustofa Syalbi kepada para mahasiswa di berbagai universitas Islam. Selain menyusun ulang sistem kepenulisannya, rekonstrusksi isi materipun perlu ditinjau ulang, seperti membuang perdebatan-perdebatan ahli kalam dan membuat definisi yang mudah dipahami. Unsur lain yang perlu ditambahkan adalah memasukkan ilmu-ilmu baru yang dianggap sangat penting, seperti maqashidsyariah, qawaid, furu’ dan takhrij. Kedua, perlunya memasukkan ilmu lain dalam Ushul Fiqh semacam ilmu yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan atau lebih dikenal dengan sosiologi. Ketiga, pembukuan Ushul Fiqh sebaiknya disesuaikan dengan pembukuan kontemporer dan membuang pembahasan yang tidak ada sangkut-pautnya terhadap Ushul Fiqh. Keempat, mengembangkan tema yang ada dalam Ushul Fiqh, seperti ijtihad dan ijma’ dibentuk dalam lembaga yang bersifat formal, penggunaan metodologi Ushul Fiqh dalam ilmu-ilmu sosial, menjadikan maqshid syariah sebagai landasan dalam berfatwa, dan mengembangkan kembali sumber-sumber hukum yang digunakan seperti( adawat, manahij dan mashadir) dan membingkainya dalam format yang lebih baik.
Dr. Sya’ban Muhamad Ismail mempunyai beberapa gagasan mengenai rekonstruksi Ushul Fiqh yang secara subtansi hampir sama seperti apa yang diwacanakan Ali Jum’ah dan Abdussalam Balaji. Pertama, tajdid berarti pengembangan dan perluasan terhadap ilmu Ushul Fiqh, serta menyisipkan ilmu yang mendukungnya. Jika menelisik akar geneologinya, Ushul Fiqh sebenarnya telah sampai pada taraf itu. Di samping telah menulis kitab ar-Risalah, Imam Syafi’i juga telah mengarang kitab Jima’ul Ilmi, Ikhtilaful Hadits, Ibtalul Istihsân, sebagai perpanjangan tangan dari kitab ar-Risalah.
Kedua, bentuk lain dari tajdid adalah purifikasi, mentarjih, dan menyeleksi pembahasan yang menjadi perdebatan di kalangan ulama. Hal ini penting mengingat jarang sekali ulama-ulama khalaf yang kritis terhadap karya para pendahulunya, sehingga tidak meninggalkan bekas sedikitpun. Sampai muncullah Imam Syaukani (1255) dalam karyanya, Irsyadul Fuhul fi Tahqiqi Ilmi Wusûul, yang mencoba mengkritisi beberapa kitab kemudian mengatakan, “Jangan sampai ada yang beranggapan bahwa seluruh kaidah ushuliyah itu semuanya qhat’i yang tidak boleh tersentuh oleh ijtihad manusia. Dia juga menjelaskan mana saja masalah yang tidak boleh adanya khilaf dan yang memungkinkan khilaf.
Sejarah terbentuknya Ushul Fiqh merupakan khazanah intelektual terbesar umat Islam, mengingat usaha ulama-ulama terdahulu dalam ber-istimbat tidak akan lepas dari pengalaman, penghayatan, dan jerih payah terhadap kitab-kitab klasik mereka. Sikap kita terhadap turas harus berada pada koridor yang benar dan adil. Kita mengapresiasikan karya-karya ulama masa lalu, namun tetap kritis terhadap apa yang mereka bangun, karena semua perkataan boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali Rasulullah saw. Pengetahuan dan pembacaan sejarah yang baik tentu akan mengantarkan pada pemahaman yang baik pula. Mengutip perkataan Rajib Sarjani, “sejarah Islam adalah mutiara terpendam yang harus dikeluarkan oleh umat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar